• Home
    • Home alternate
    • Blog no sidebar
    • Blog Masonry
    • Pagination
  • About
    • Typography
    • Shortcodes
    • Archives
    • Grid
    • 404
    • Search Results
    • Form Elements
  • Portfolio
    • Portfolio single
  • Gallery
    • Gallery single
  • Contact

RUNI

Unspoken Thougt




Akhirnya aku bisa merasakan rasa senangnya dan terharunya Ika Natassa kalau ada yang memberikan review tentang karya yang sudah di buat. Jangan bandingkan tulisanku dengan tulisan-tulisan Ika Natassa, Dee Lestari, Sita Karina atau bahkan Kurniawan Gunadi, karena kualitas tulisanku masih jauh di bawah mereka semua. Tapi mungkin perasaan yang ku rasa bisa sebanding sama yang mereka rasakan.

Dari awal memang aku sudah suka menulis, dari mulai nulis buku diari dari jaman SD, cerita fiksi ala-ala anak SMP yang ditolak penerbit, curahatan di Blog ini yang bikin bergeridik sendiri karena baru sadar kalau itu tidak pantas untuk di-share di publik, sampai akhirnya memberanikan diri bikin buku beberapa tahun lalu.

Buku pertama yang dibuat punya judul "I Called It Life" dan jujur judul buku itu terinspirasi dari judul lagu "Called it Love" karya Lionel Richie. Ya namanya buku pertama, aku lebih banyak merasa tidak puas dan sedikit kecewa dengan karya sendiri. Merasa kalau materi di buku itu masih kurang matang, ada beberapa chapter yang sebenarnya benar-benar tidak penting, dan lain sebagainya. Tapi hasrat buat terus nulis dan berbagi dengan banyak orang itu terus ada. Sampai pada akhirnya saat sudah lulus kuliah S1 waktu itu which is three years ago, aku kembali tertarik untuk 'merombak' buku pertama itu dan membuat konsepnya menjadi lebih matang. Dari mulai memperbaiki sub-chapter yang sudah ada, membuat sub-chapter baru, sampai penggantian judul. Jadi lah buku L.I.F.E (Learn, Image, Fate, Exist). Kenapa judulnya itu? Karena sebenarnya di dalam hidup itu kita akan terus bertemu dengan keempat hal tersebut (mau tau lebih lanjut, silahkan beli atau baca bukunya ya, hehe).

Perjalanan sampai akhirnya perombakan selesai pun tidak mudah. Mulai dirubah dari mulai tahun 2013, terpotong karena sibuk cari kerja, kerja, les, dan laptop rusak, sehingga file-nya stuck di Laptop lama, sampai akhirnya file itu berhasil dipulihkan. Dengan semua drama itu, buku L.I.F.E ini berhasil diselesaikan pada tahun 2015. Gila! 'rombak' aja butuh waktu 2 tahun. Setelah proses editing typo beberapa kali, akhirnya buku itu resmi terbit di nulisbuku.com.  Setelah buku itu terbit, aku pribadi masih kurang puas dengan buku ini, bahkan sampai sekarang. Aku masih selalu merasa kurang, dan selalu merasa masih banyak yang seharusnya aku kembangkan waktu itu.

Namun ternyata animo orang-orang cukup baik, berbeda dengan apa yang aku sebenarnya rasakan. Ya semakin maraknya media sosial, aku jadi lebih mudah untuk mempromosikan buku ini. Meskipun kebanyakan yang membeli itu masih teman atau kerabat, namun kepuasan itu pelan-pelan muncul pada diriku, rasa senang karena dapat berbagi dengan mereka, dan terharu ketika beberapa dari mereka bilang bahwa aku menjadi 'inspirasi' untuknya, terutama untuk mereka yang memang juga senang menulis.

Ketika sudah mendapatkan review yang bermacam-macam, yang positif maupun negatif, rasanya berapa banyak buku yang terjual, berapa banyak untung yang aku terima itu tidak ada apa-apanya. Respon dari mereka yang mendorong ku untuk terus berkarya dan berkarya lagi sampai saat ini, sampai masa depan yang tak terhingga. Mereka yang mendorong ku terus untuk terus menghasilkan tulisan yang lebih baik dan lebih baik lagi. Jujur, mungkin dulu aku 'menghasilkan' buku hanya demi 'bertambahnya uang jajan' namun saat ini hal tersebut sudah bukan point utama lagi. Terus berkarya, terus menulis, terus mewakili mereka yang merasakan hal yang sama, dan terus memberikan 'inspirasi' terasa lebih indah dan berarti daripada pundi-pundi rupiah (ini serius, ya meskipun rupiah juga perlu sih hehehe).

Terakhir aku mau ucapkan terima kasih sekali buat teman-teman, kerabat, atau mungkin orang lain yang setia baca blog ini, yang sudah membaca buku L.I.F.E ntah yang beli atau pinjam. Terima kasih sudah selalu mengingatkan, memotivasi ku untuk terus menulis, dan berkarya. Mohon tunggu karya selanjutnya yaa.. Semoga cepat selesai dan memberikan inspirasi lagi untuk teman-teman semua :)



Regards,


Seruni Yuniarti..




"Khayalan ditambah kerja keras = kenyataan" - Pandji Pragiwaksono





Hai Readers! Apa kabar?

Untuk kali ini saya nggak akan posting tentang pendapat pribadi atau cerpen hehe. Kali ini saya cuma mau cerita (singkat) tentang 2 project besar jangka panjang, dan satu project ya kecil lah untuk jangka pendek. Here we go.

Setelah selesai dengan buku L.I.F.E yang Alhamdulillah sudah 3 kali dibuka proses pre-ordernya dan setelah dapat insight seletah membaca bukunya Mas Pandji, yang Nasional.Is.Me dan Menemukan Indonesia, saya jadi terdorong untuk memberikan sesuatu untuk Kota tempat lahir dan tinggal saya hingga saat ini, Bandung. Dalam bentuk apa karyanya? Yang jelas berupa tulisan, buku, yang (InsyaAllah) ditulis oleh dua orang, saya pribadi dan salah satu teman saya. Sebenarnya judulnya sudah ada beberapa yang sedang di 'godok' isinya pun sudah mulai dibicarakan, tapi untuk jelasnya nanti saya jelaskan kalau sudah 80% selesai aja yaa.. Btw, nanti buku ini bisa teman-teman download gratis ebook-nya di hari Ulang Tahun Kota Bandung, 25 September tahun ini. Doakan lancar terus yaa, biar bisa selesai tepat waktu.

Project kedua adalah kembali membuat buku fiksi (novel). Project ini pun rencananya dikerjakan oleh dua orang saya dan Indah Sundari, mungkin untuk beberapa teman-teman nama itu sudah tidak aneh ya? Secara dia adalah salah satu finalis Wanita Muslimah tahun 2014. Oke, kembali membahas project kedua ini, rencananya cerita novel ini mengandung hal-hal yang berbau psikologi, kenapa? Karena kami bedua ingin membagikan ilmu yang sedang kami pelajari, hehehe.  Namun untuk project kedua ini kami berdua masih belum tau kapan bisa selesai, karena sejujurnya kami berdua sama-sama dikejar dengan kesibukan masing-masing. Doakan semoga bisa cepat selesai dan berbagi dengan teman-teman semua ya!

Dan project terakhir yang merupakan project kecil-tapi-harus-konsisten ini adalah kembali 'memelihara' blog review film saya, yaitu scriptcatcher.wordpress.com. Akhir-akhir ini memang blog saya agak terlantar. Maka dari itu, setelah mendapatkan saran dari teman-teman, saya akan mulai rajin menulis review film lagi (yang sebenarnya list-nya sudah numpuk. banget). Untuk membantu agar konsisten, saya punya rencana untuk mem-posting time table setiap bulan yang isinya film apa saja dan kapan saja itu akan saya posting di blog dalam satu bulan. Semoga dengan hal tersebut saya bisa terus konsisten ya dalam menulis, dan mengeluarkan semua yang ada di kepala saya. Karena jujur, ketika terlalu banyak ide yang ada tapi tidak dikeluarkan (di luar ide itu luar biasa atau biasa saja) rasanya sangat tidak enak dan menganggu, hehe.


WISH ME LUCK!








"Pendidikan itu bukan hanya peraturan tapi juga pendewasaan."





Saat ini di Indonesa lagi gencar banget untuk memperketat Sensor Film maupun acara TV. Sering kan nonton acara yang rasanya semuanya di sensor? Kalau saya tidak salah (mohon koreksi kalau salah) acara Pemilihan Putri Indonesia atau Miss Indonesia juga sampai di sensor? Harus sampai sebegitunya kah?Really? 

Katanya sih tujuan awalnya adalah untuk meminimalisir dampak negatif dari tampilan 'vulgar' atau kurang cocok untuk anak dibawah umur (read : under 17 or under 21). Rencana kebijakan ini pun akhirnya booming dan menjadi pembahasan banyak orang. Dari mereka yang pasti terkena dampak langsungnya yaitu artis, pekerja TV dan film, sampai orang-orang awam kayak saya.

Beberapa waktu lalu Joko Anwar pernah mengeluarkan pertanyaan di account twitter-nya, kurang lebih inti pertanyaannya adalah apakah orang-orang setuju dengan kebijakan dalam memperketat sensor film, beserta alasannya. Ada yang setuju, namun ada juga yang tidak setuju. Ya namanya juga kontroversi, yak.. Kalau saya pribadi kurang setuju sih sebenarnya, karena seperti apa yang saya tulis di atas tadi, seperti apa yang seorang Pandji Pragiwaksono pernah ungkapkan juga di salah satu bukunya, bahwa pendidikan yang baik itu tidak harus melulu dipenuhi dengan aturan-aturan, tapi pendidikan yang baik itu adalah proses pembelajaran yang dapat membantu pembentukan kedewasaan pada seseorang. Mungkin tujuan awal dibuatnya kebijakan itu sudah baik, tapi apakah cara 'memberikan banyak aturan' tersebut sudah cukup efektif?

Apakah usaha pemerintah berhasil dengan selalu menutup atau memblokir akses Website yang mengandung pornografi dan pornoaksi? Jawabannya, berhasil untuk sementara waktu, sebelum muncul ribuan Website lainnya yang content-nya sama seperti Website yang sudah pernah di blokir. Apakah kebijakan tersebut sudah tepat sasaran? Dan menjamin akan memperbaiki 'moral' bangsa seperti tujuan asalnya?

Kalau menurut salah satu teori Psikologi, yaitu Psikoanalisa, struktur kepribadian seseorang itu terdiri dari 3 hal, yaitu Id (dorongan-dorongan atau keinginan individu), Ego (salah satu yang mengontrol dorongan-dorongan yang dimiliki), dan Superego (aturan-aturan atau nilai-nilai yang ada di dalam diri individu itu sendiri). Nah, kalau menurut teori ini apabila seseorang memiliki keinginan yang cukup besar di dalam dirinya ia akan cenderung melakukan apapun untuk membuat keinginannya itu terpenuhi. Fungsi aturan disini hanya sebagai filter awal, atau yang menjadi pertimbangan apakah keinginannya itu akan ia keluarkan atau tidak. Tapi keputusan akhirnya itu ada di tangan Ego, sanggup kah ia memfilter mana keinginan yang harus di keluarkan dan mana yang tidak.

Seperti apa yang sudah aku katakan tadi, bahwa Superego itu dibentuk oleh aturan-aturan atau norma yang berlaku di suatu lingkungan, nilai Agama pun masuk di dalamnya. Sedangkan salah satu pertanda apakah Ego dapat memilah keinginan atau dorongan adalah dilihat dari kedewasaan seseorang, individu yang sudah lebih matang secara teori lebih bisa mengontrol keinginannya, lebih bisa 'menjebatani' antara Id dan Superego yang ia miliki.

So, apakah kebijakan yang mungkin akan dibuat oleh pemerintah itu sudah pasti efektif? Belum tentu. Meskipun terdapat banyak larangan dan kebijakan yang bertujuan 'membatasi' keinginan seseorang, tetap semuanya kembali ke pribadi individu itu sendiri. Apakah mereka akan membatasi perilakunya atau tidak? Apakah mereka benar-benar mampu mengikuti kebijakan itu dengan lapang dada dan tidak kembali memutar otak supaya tetap dapat memenuhi keinginannya?

Kalau menurut saya pribadi, lebih baik 'perketat' kebijakan yang sudah ada, misalnya untuk masalah film, bisa lebih di tekankan dikategori film itu sendiri, apakah SU (Semua umur), PG (Parental Guidance), atau R (Resticted). Buat semua pihak mengikuti dan memahami dengan jelas dari setiap kategorinya, dari mulai film maker, pegawai bioskop, sampai para orang tua. Ajarkan anak-anak mereka mengenai apa yang mereka boleh tonton dan tidak beserta alasannya. Ajarkan apa yang mereka boleh lakukan dan tidak beserta alsannya. Memang pasti lebih susah karena memerlukan kerjasama dari semua pihak. Tapi bukannya itu sepadan apabila hasilnya akan jauh lebih efektif?








Siapa yang tidak kenal Pandji Pragiwaksono? Dulu pertama kali saya tau Mas Pandji ini ketika nonton acara 'Kena Deh' di salah satu stasiun TV swasta, dari situ juga saya tau kalau Mas Pandji ini adalah (mantan) pacarnya teman kerja Kakak saya --oke yang ini nggak penting.-- 

Balik lagi ke karya-karyanya Pandji, lulusan dari FSRD ITB ini bisa dikatakan berjibun, dimulai dari acara tv, penyiar, lagu rap, buku, sampai stand-up comedy. Dia juga jadi komika pertama dari Indonesia yang melakukan tur dunia. Dan buku Menemukan Indonesia inilah yang menjadi salah satu bukti dari perjalanannya seorang Pandji Pragiwaksono keliling dunia. 

Sebenarnya saya pribadi bukan penikmat setia Pandji dari lama, saya mulai mengikuti karya dia setelah nonton Provoactive Proactive di Metro TV. Nggak lama dari situ saya mulai rajin nontonin video Stand-Up comedy nya dari Youtube, dan  follow twitternya. 

Buku pertama dan satu-satunya saya baca sebelum yang ini adalah Nasional.Is.Me, singkatnya buku itu menceritakan bagaimana optimisme Pandji tentang Indonesia, dan saya akui buku itu banyak membuka pandangan saya mengenai Indonesia, ya kurang banyak cukup mengurangi penilaian negatif saya tentang negara sendiri lah. Kemudian, selang berapa tahun diterbitkanlah buku ini, Menemukan Indonesia, waktu saya tau ada Pre-Ordernya, saya langsung dengan semangat dan sigap memesan buku ini. Karena saya tau, saya tidak akan pernah kecewa dengan semua karya Mas Pandji. 

Dugaan saya benar, membaca buku ini membuat saya ikut merasakan hadir diantara Tim Mesakke Bangsaku World Tour (MBWT),  ikut merasakan kegembiraan mereka, ikut tertawa ketika ada yang dirasa lucu, atau ikut menyeringit ketika ada sesuatu yang diluar ekspektasi saya tentang suatu Negara. Penuturan Pandji sangat enak untuk diikuti, dan rasanya menjadi sangat dekat dengan figur Pandji sendiri. 

Buku ini juga menjadi tamparan untuk saya pribadi, ada satu bagian yang rasanya sangat mengena untuk saya. Pandji mencoba mengajak kita lagi untuk berbuat sesuatu yang ditujukan untuk Indonesia, gaya pembahasaan yang persuasif tidak terkesan menggurui dan buat saya pribadi sih cukup terajak, meskipun sampai saat ini masih tidak tau mau melakukan apa. 

Buat para penikmat karya-karya Pandji (dan belum kebagian PO buku ini), orang-orang yang memiliki optimisme mengenai Indonesia tapi don't know what to do, atau untuk mereka yang pesimis atau 'benci' sama Indonesia, saya sarankan untuk beli dan baca buku ini sesegera mungkin setelah dijual di toko buku, kalau saya tidak salah mulai 18 Maret 2016 nanti. 



PS :  kalau Mas Pandji baca ini, saya sangat tidak sabar menunggu film Dokumenter Menemukan Indonesia, dan tur Stand-up Juru Bicara. Semoga saya bisa datang ke Jakarta dan menontonnya secara langsung. Terima kasih Mas, atas Inspirasi yang sudah dibagikan pada kami. :)


Jakarta, Juni 2016

Hujan rintik-rintik, embun yang menempel di kaca, dan musik jazz instrumen menemaniku menunggu seseorang di sebuah kafe yang sangat memiliki banyak cerita buatku. Kafe tempat dimana aku pertama kali bertemu dengan seorang laki-laki yang saat ini menjadi suamiku.

“hot caramel latte?” lamunanku seketika buyar ketika waitress membawakan pesananku.

“oh iya mas, terima kasih.” Jawabku sembari menerima cangkir berwarna putih itu.

            Sepeninggalan waitress tersebut, pikiranku langsung berjalan-jalan melewati lorong waktu. Aku selalu teringat bagaimana saat pertama kali bertemu dengan Bagas, enam tahun lalu. Aku yang pada saat itu sedang mencari data untuk materi skripsi hingga ke Universitas Negeri di Depok dan akhirnya menyempatkan datang ke salah satu cafe di daerah Kemang sebelum akhirnya pulang ke Bandung. Ternyata pada hari-hari tertentu di cafe itu diadakan open mic (read : melawak hanya dengan bercerita seorang diri di depan banyak orang) bagi orang-orang yang merasa dirinya lucu. Saat itu aku datang dengan seorang teman yang ternyata adalah teman SMA Bagas, dan Bagas melakukan open mic yang tidak begitu aku perhatikan saat itu.

*****
Jakarta, Februari 2010.

“itu Bagas ngapain?” kata Alisa temanku tiba-tiba.

“hah? Siapa Bagas?” jawabku dengan tatapan masih fokus pada laptop di depanku ini.

“temen SMA gue.” Balas Alisa, matanya terus memandang panggung ala kadarnya yang ada di bagian depan cafe tersebut.

            Aku mendengar samar-samar sesuatu yang lucu, Alisa pun tidak sanggup menahan ketawanya di sebelahku. Aku sendiri masih sibuk dengan skripsi dan laptopku ini. Setelah Bagas selesai dengan lawakannya, Alisa dengan sigap memanggilnya sambil melambai-lambaikan tangan.

“Gaass,” Alisa memanggilnya dengan sedikit berteriak. Aku dapat melihat Bagas tersenyum sebentar dan langsung menghampiri kami.

“Alisa? Apa kabar? Lagi apa?” tanyanya sambil melihat kearahku dengan sekejap.

“abis dari UI, Gas. Nemenin temen nyari data buat skripsinya. Nih kenalin,” Alisa memintaku untuk berdiri,

“Dinar,” jawabku sembari mengulurkan tangan dan tersenyum.

“Bagas.” Jawabnya tak kalah ramah.

“lo udah balik tinggal di Jakarta, Gas?” Alisa kembali bertanya pada Bagas ketika kami bertiga sudah duduk di meja yang sama.

“belum, Cha. Boro-boro skripsi aja gue belum ambil. Ini kebetulan gue lagi di Jakarta aja. Gimana gue oke nggak tadi?” tanya Bagas sambil tertawa.

“hahahahaa lumayan lah Gas. By the way lo tadi ngapain sih? Ngelawak kayak Sule gitu?”
Mendengar pertanyaan Alisa aku kontan menahan tawa.

“hahahahhaha nggak kayak Sule banget sih, Cha. Yang tadi gue lakuin itu namanya stand up comedy, kalau bingung itu apa bisa liat di Youtube atau Googling aja. Jadi intinya stand up comedy tuh salah satu tipe komedi yang pelawaknya ngebawain lawakan di panggung sendirian biasanya dengan cara bermonolog atau story telling sama penonton, gitu.” Bagas mencoba menjelaskan pada kami berdua.

“di Indonesia sendiri memang belum setenar di luar sana sih, kalau di Amerika stand up comedy udah terkenal dari beberapa tahun lalu. Sedangkan di kita masih baru banget, masih sedikit orang yang berani ngelakuin stand up comedy secara terang-terangan, paling yang terkenal ya Pandji sama Raditya Dika doang.” Katanya melanjutkan. Aku dan Alisa fokus mendengarkan sambil mengangguk-anggukan kepala, tanda mengerti.

Perawakan Bagas itu kurus dan tinggi banget, rambutnya sedikit ikal dan pakai kacamata. Bukan tipeku sih memang pada saat itu.

“kalian kapan balik Bandung?” tanya Bagas setelah basa-basi kesana-kemari.

“malem ini sih rencananya,” jawabku singkat.

“bawa kendaraan? Berdua doang?”

“iya Gas, Dinar bawa mobil. Lagian dia udah biasa kok nyetir malem gini.” Kali ini giliran Alisa yang menanggapi.

“serius? Kenapa nggak nginep dulu di rumah lo, Cha?”

“gue ada kuliah besok, nggak bisa ditinggal, Gas.”

“ohh..” katanya dengan tatapan khawatir.

“udah gue anter aja deh sampai Bandung, gue ngga akan bawa mobil dulu. Ya?” kata Bagas tiba-tiba hampir membuat jantungku berhenti.

“eh nggak usah, kasian ngerepotin.” Ucapku tanpa pikir panjang.

“nggak apa-apa, nggak akan gue culik. Alisa kan kenal deket sama orang tua gue, santai aja.”

“iya, Nar. Udah nggak apa-apa daripada lo nggak ada yang gantiin nyetir. Gue kan kalau malem rabun ayam.” Jawab Alisa.

Sial nih anak. Aku tidak merespon pernyataan dari Alisa.

“iya, udah nggak apa-apa. Tapi nanti anter gue ke rumah dulu ya, naro mobil.” Bagas kembali bersuara.

Dengan sigap Alisa menjawab, “siap pak bos.” Sambil mengangkat tangannya, tanda menghormat.

Jadilah saat itu kami pulang bertiga ke Bandung. Mulai saat itu juga hubunganku dengan Bagas mulai dekat dan akhirnya memutuskan untuk pacaran.

*****
Bandung, Maret 2012

Malam itu suasana makan malam tidak sehangat biasanya, tidak sesantai biasanya, tidak ada obrolan kesana-kemari, tidak saling menanyakan kabar dan kegiatan hari itu. Sampai Ayah menanyakan sesuatu yang sangat tidak ingin aku jawab,

“Bagas sebenarnya serius sama kamu, Dinar?” pembahasaan yang kaku adalah ciri khas dari Ayah, dan semakin membuatku ciut untuk menjawabnya. Tuhan, tolong aku.

“ya seperti itu lah Yah.” Jawabku seadanya tanpa melihat mukanya sama sekali.

Ayah kembali bertanya, “seperti itu bagaimana?” kali ini di tambah dengan tatapan Ibu yang menyuruhku untuk menjawab dengan serius.

Aku menghela nafas sebelum akhirnya menjawab, “ya, kami kan sudah usia segini yah. Pasti serius sih dalam menjalani hubungan. Dinar sama Bagas memang ada rencana untuk lebih serius, namun belum tau kapan.”

Tanpa pikir panjang, Ayah langsung menjawab. “kamu mau menikah dengan seseorang yang kuliah strata satu saja tidak selesai? Mau makan apa kamu nanti?”

Mendengar jawaban Ayah saat itu, rasanya nasi yang sudah sampai kerongkongan ingin keluar lagi. Melihat ekspresi mukaku Ibu langsung menganggapi,

“kami cuma ingin kamu mendapatkan yang terbaik, Dinar. Jangan sampai dibutakan oleh cinta. Tuh lihat mas Adi sudah jadi dokter, masa depannya akan lebih jelas daripada kamu menikah sama komedian tidak jelas seperti itu.”

Glek. Ucapan Ibu saat itu rasanya langsung menusuk hati. Aku tidak percaya bahwa ibu akan berkata seperti itu. Saat itu adalah kali pertama aku sakit hati oleh perkataan Ibu. Sakit.

Tanpa pikir panjang aku langsung membanting sendok di atas piring dan meninggalkan meja makan. Ayah mencoba untuk memanggilku dengan sedikit berteriak, namun nampaknya Ibu mampu menenangkan beliau.

Aku menangis semalaman, Bagas tidak boleh tahu pembicaraanku di meja makan tadi, sangat tidak boleh. Aku kecewa kepada orang tuaku, mereka hanya bisa melihat seseorang dari materi yang mereka miliki, bukan apa yang sesungguhnya ada di dalam dirinya.

Bagas memang akhirnya di keluarkan karena tidak kunjung selesai menyelesaikan kuliahnya di Universitas Negeri nomor 1 di Bandung. Pemikirannya yang terlalu kritis menghambatnya untuk menyelesaikan perkuliahan di jurusannya, yaitu Bisnis dan Management. Aku sendiri sangat menyayangkan ketika mengetahui dirinya harus mengeluarkan diri kalau tidak mau dikatakan ‘dikeluarkan.’ Bagas sendiri pun sangat terpukul dan menyesal, apalagi ketika ia harus berkata jujur kepada orang tuanya mengenai kegiatan akademiknya yang tidak mulus. Akhirnya Papa Bagas pun tidak memberikan kesempatan padanya untuk kembali berkuliah namun memintanya agar fokus menjadi komika. Andaikan Ayah dan Ibu memiliki hati selapang dan pemikiran seluas itu, bahwa hidup ini bukan hanyalah masalah uang dan uang.  

Sebenarnya saat itu aku memahami apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuaku. Saat itu pekerjaan sebagai komika tidak semudah dan semulus sekarang. Tapi bukannya uang tidak akan menjamin kebahagiaan?

*****
Bandung, April 2012

“jadi aku kapan nih bisa ngelamar langsung ke orang tua kamu, Nar?” tanya Bagas suatu ketika saat kita sedang makan di daerah Dago.

Saat itu memang Bagas sudah menyatakan maksudnya untuk menikahiku secara unofficial. Bahkan Bagas sudah membelikan ku cincin sederhana yang masih harus aku lepas ketika memasuki rumah, maafkan aku Bagas.

“hmm..” kataku tidak menjawab pertanyaannya. Sebenarnya Bagas sudah menanyakan hal yang sama lebih dari sepuluh kali, dan aku selalu tidak bisa menjawabnya.

“kok nggak di jawab, Nar?” tanyanya lagi, kali ini sembari memandangku dengan lebih serius.

Aku masih tidak bisa menjawab, dan malah memalingkan muka dari tatapannya.

“Dinar Putri Amanda. Aku nanya serius ya sama kamu, kamu sayang kan sama aku? Beneran mau nikah kan sama aku? Kalau nggak, yaudah aku mundur dari sekarang.” Tangan Bagas memegang kepalaku, supaya aku melihat kearahnya. Sepertinya dia sudah mulai kesal dengan tanggapanku selama ini.

Aku hanya bisa menangis dan menjawab seadanya, “aku nggak bisa ngelawan Ayah, Gas.”

Bagas melepaskan tangannya dari mukaku, dan membantingkan tubuhnya kesandaran kursi.

“yaudah kalau gitu, aku bisa bilang apa, Nar.” Volume suara Bagas berubah seketika saat merespon pernyataanku.

Aku kembali terdiam.

Pernyataan Bagas selanjutnya semakin membuatku kaget dan tidak kuasa menahan air mata, “yuk aku anter kamu pulang aja, untuk terakhir kalinya.”

Dengan bodohnya aku, aku tidak mencoba melawan atau menjawab perkataan Bagas tadi. Aku setuju untuk diantar pulang untuk terakhir kalinya tanpa usaha mempertahankan hubungan yang sudah berjalan dua tahun itu. Diperjalanan pulang pun aku dan Bagas tidak berbincang sama sekali, Bagas fokus menyetir, sedangkan aku fokus untuk menahan agar air mata ini tidak kembali menetes.

Sesampainya di depan rumahku, aku melepaskan cincin di jari manisku dan memberikannya kepada Bagas,

“Gas, nih aku balikin yaa.. terimakasih untuk dua tahun ini. Maafin kalau aku kurang berani untuk memperjuangkan kamu di depan Ayah.”

Bagas hanya menunduk, menerima cincin tersebut, dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun sampai aku turun dari mobilnya.

Aku sayang Bagas, aku cinta Bagas. Dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Tanpa melihat gelar dia, pendidikan dia, atau apapun itu. Aku percaya Bagas adalah orang pintar, lelaki yang akan memperjuangkan apapun untukku. Sayangnya Ayah dan Ibu terlalu menutup mata, terlalu dibutakan oleh materi. Lalu kenapa aku sangat mudah untuk melepaskannya?

Hari itu, tanggal 21 April 2012 menjadi hari terakhir aku berhubungan dan bertemu dengan Bagas selama berbulan-bulan kemudian.

Keesokan harinya, Alisa langsung mendatangiku ke kantor.

“lo kesambet apaan sih Nar? Lo cinta kan sama Bagas?” nada suara Alisa saat itu sangat tidak enak di dengar.

“sayaaaang bangeeettttt dan cintaaa banget Cha. Tapi gue harus gimana? Lo tau kali bokap gue kayak apa? Gue pasti dituduh terlalu naif kalau terus mempertahankan Bagas, padahal kayaknya udah nggak mungkin gue nikah sama dia.”

“iya lo naif, tapi bukan gara-gara mempertahankan dia. Tapi karena dengan mudahnya melepaskan dia tanpa coba usaha apapun. This is so not you.” Katanya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Aku menelan ludah.

“yang namanya cinta tuh ya menurut gue artinya akan dan saling memperjuangkan satu sama lain. Lo nggak percaya kalau Bagas akan usaha buat ngasih makan lo dan anak-anak lo nanti? Dia sayang kan Nar sama lo?”

Kalimat terakhir Alisa saat itu akan selalu aku ingat sampai kapanpun. Ya aku yakin kalau Bagas menyayangiku, mencintaiku, dan akan selalu berusaha untukku, untuk kami.    

*****
Bandung, Juli 2012

Kring kring kring.

Aku kaget melihat layar handphone saat itu, nama Bagas muncul di layar. Dengan ragu dan doa sebelumnya, akhirnya aku mengangkat telfon tersebut.

“halo,” kataku dengan nada ragu.

“Dinar? Bisa ketemu nggak? Mumpung aku lagi di Bandung.” Bagas menjawab tanpa basa-basi sama sekali.

“hmm..boleh, mau ketemu dimana?” jawabku setelah berpikir sejenak.

“cafe Halaman aja ya, aku ada urusan dulu sih di Sabuga siangnya. Nggak apa-apa?”

“oke.”

Malamnya, selesai dari kantor aku langsung menuju ke cafe Halaman, antara cemas dan senang 
karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan Bagas setelah beberapa bulan hilang kontak. Sesampainya di sana, aku sudah bisa melihat Bagas duduk di pojok ruangan sambil asik memainkan handphone-nya

“Gas, maaf telat. Udah lama ya?” tanyaku mencoba untuk basa-basi sambil memilih duduk di hadapannya.

“nggak juga kok, pesen dulu aja Nar.” Bagas membalasnya dengan sangat ramah. Oh God, I really miss my this man.

Setelah berbasa-basi singkat, menanyakan kabar masing-masing, kegiatan sehari-hari, akhirnya Bagas memulai pembicaraan yang tampaknya lebih serius.

“hmm..Nar, kamu mungkin tau kalau aku sampai saat ini masih sayang sama kamu. Niatku yang dulu belum pernah berubah sampai saat ini. I want to marry you, and you know that, right?”

Aku hanya mengangguk dan menahan agar tidak lagi menangis.

“aku juga tau kalau orang tua kamu, terutama Ayah akan sangat menolak aku di dalam keluargamu, kan? Karena sampai saat ini aku belum punya pekerjaan yang tetap dan bahkan nggak lulus kuliah.”

Aku kembali terdiam.

“tapi aku cuma mau nanya kamu satu hal ini, satu kali aja. Do you love me?” Bagas melanjutkan, kali ini bertanya.

Dengan sigap, dan kali ini tanpa berbohong, aku langsung menjawab, “yes, Gas. I do.”

Senyum Bagas mulai terlihat di raut mukanya, “kamu mau kan ikut memperjuangkan hubungan kita? Karena aku nggak bakalan sanggup kalau cuma usaha sendiri.”

Ucapan Bagas tadi dilanjutkannya dengan berlutut (lagi) dihadapanku dengan memberikan cincin yang sama dengan 4 bulan lalu. Saat itu tak terasa air mataku menetes lagi, kali ini air mata terharu dan bahagia. Aku menerima tawaran itu untuk kedua kalinya.

Iya Bagas, aku siap dan mau memperjuangkan kamu sebesar kamu memperjuangkan aku selama ini. Karena aku yakin pada Bagas, aku yakin ia akan mampu menjadi suami dan bapak yang baik untuk anak-anaku kelak.

Perjalanan kami setelah itu memang tidak mudah, ayah dan ibuku sulit untuk diyakinkan. Mereka masih selalu beranggapan bahwa Bagas tidak akan mampu membiayai keluarganya kelak. Bagas diharuskan menyanggupi beberapa syarat sampai akhirnya diterima oleh ayah. Salah satunya adalah mempunyai rumah sendiri dan memulai bisnis.

*****
Jakarta, Juni 2016

“sayang, maaf yaa telat. Tadi shooting­-nya ngaret” Bagas datang sambil mencium keningku sebelum akhirnya duduk disampingku.

Aku tersenyum, “iyaa, sayang, nggak apa-apa. Happy anniversary yaa.” Balasku sambil memberikan sebuah kotak sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami yang ketiga.

“apaan ini?” ucap Bagas sembari membuka kotak tersebut. Aku dapat melihat senyumnya ketika dia melihat apa yang ada di dalam kotak tersebut. “aku akan jadi ayah?!” tanya Bagas sedikit berteriak karena saking excited-nya.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Bagas langsung memeluku dengan sangat kencang, sampai aku hampir tidak bisa bernafas.

“Gas, udah dong aku nggak bisa nafas nih.” Kataku memelas.

Bagas tertawa kecil.

“terima kasih ya, sayang.” Ucap Bagas sambil melepaskan pelukannya.

            Mungkin memang benar kalau materi atau uang menjadi objek yang paling mendasar untuk kita hidup. Dengan adanya uang hidup akan jauh terasa lebih mudah, namun bukan berarti kita boleh melupakan sumber kehidupan lain yang sama pentingnya, yaitu cinta. Memang, kita tidak akan kenyang dengan cinta, tidak bisa membeli keperluan sehari-hari dengan cinta. Namun, bersama orang yang kita cintai dan mencintai kita akan membuat kita merasa lebih nyaman dan aman. Dengan mereka kita akan lebih mudah berpikir, mengekspresikan diri, menjadi orang yang lebih baik, dan berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk pasangan kita. Hal itulah yang aku dapatkan dari Bagas, dengan cintanya yang besar dia dapat memperjuangkan dan membuktikan kepada semua orang bahwa dia bisa membiayai aku dan keluarga kecil kami jauh diatas yang orang harapkan, lebih dari cukup. Ya, cinta memang butuh perjuangan, namun dengan cinta, perjuangan yang sulit pun akan terasa mudah.

“Love is not about accepting. But it’s about understanding and fighting for someone you loved”


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Pilih Mana: Cinta Atau Uang?" #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com. 
  • Older posts →
  • ← Newer Posts

About Me

Movie, Book, Food enthusiasm, Writter (?), Master Studernt, co-founder scriptcathcer.wordress.com.
Labels
  • Bandung
  • Buku
  • Dessert
  • Ice Cream
  • L.I.F.E
  • Lesson
  • Life
  • Marriage
  • Menemukan Indonesia
  • menulis
  • Novel
  • Nuhun Kang Emil.
  • nulisbuku
  • Pandji Pragiwaksono.
  • Pantai Indah Kapuk
  • Pengalaman
  • Project
  • Review
  • Sunsilk Kilau Fest
  • Visit Bandung
  • Wisata kuliner.
  • workshop

Visitors

Popular Posts

  • i was enchanting to meet youuuu~
    lagu ini lagi jadi lagu favorite saya sekarang-sekarang, mungkin karna lyric-nya lagi pas banget sama hati, hahaha. coba dengerin dan resapi...
  • Camellia Shari Ramdhan Pasha
    "We don't meet everyday, not even every months. But I've known you for all my life. Family." Now, I will write a...
  • be your self, no matter what !
    kenapa saya masang 2 gambar diatas? karena dua orang diatas bisa jadi contoh supaya kita bisa mencintai diri kita apa adanya. yang pertama a...
  • "I Called it Life"
    sebenarnya banyak hal yang bisa kita bahas di hidup ini.. apa sebenarnya hidup itu, bagaimana seharusnya kita dan lain sebagainya. buanyaaa...
  • COMING SOON! : L.I.F.E
    "Do it with your heart, and the result will be spectacular!" Hai Readers!! apa kabar? Maafin ya makin sini ...
  • LIFE = WHEELS
    hidup itu kayak roda, kayak bianglala, muter, dinamis, gak jalan di tempat, gak gitu-gitu aja. mungkin isi blog ini gak jauh beda sama isi...
  • korea addict!
    setelah lama gak posting skrg saya mau coba ngebahas yang sebenernya gak 100% saya paham. sekarang hampir di seluruh duniaaaa terutama di In...
  • Selamat Ulang Tahun, Bandung!
    “meskipun kau telah banyak berubah, kau tetap bunga di hati ku” Perasaanku campur aduk melihatmu berkembang dengan pesatnya. ...
  • Hell-o TRAFFIC JAMMED !
    sekarang bukan cuma kota Jakarta aja yang macet, Bandung juga gitu. kirain setelah lebaran selesai jalanan Bandung bakalan kembali normal, t...
  • it just about time
    sebenernya saya bingung mau nulis apa, hahahahaha. lagi-lagi disini saya mau cerita tentang kehidupan pribadi (maaf ya, hehe) tapi bukannya ...

Twitter

Twitter

Instagram

Instagram

Electronic Mail

Electronic Mail

la mia parola

la mia parola

Archive

  • ▼ 2017 (1)
    • ▼ January (1)
      • Terima kasih 2016, selamat datang 2017...
  • ► 2016 (10)
    • ► December (2)
    • ► November (1)
    • ► September (2)
    • ► August (2)
    • ► May (1)
    • ► April (1)
    • ► March (1)
  • ► 2015 (11)
    • ► November (2)
    • ► October (1)
    • ► September (1)
    • ► August (1)
    • ► May (1)
    • ► April (2)
    • ► March (1)
    • ► February (1)
    • ► January (1)
  • ► 2014 (9)
    • ► December (3)
    • ► November (2)
    • ► October (1)
    • ► June (1)
    • ► March (1)
    • ► January (1)
  • ► 2013 (8)
    • ► December (1)
    • ► October (1)
    • ► September (2)
    • ► July (1)
    • ► May (1)
    • ► January (2)
  • ► 2012 (26)
    • ► November (2)
    • ► October (1)
    • ► September (2)
    • ► August (1)
    • ► July (2)
    • ► June (2)
    • ► May (3)
    • ► April (2)
    • ► March (2)
    • ► February (4)
    • ► January (5)
  • ► 2011 (14)
    • ► December (2)
    • ► November (1)
    • ► October (1)
    • ► September (1)
    • ► August (5)
    • ► July (1)
    • ► June (1)
    • ► February (1)
    • ► January (1)
  • ► 2010 (11)
    • ► December (1)
    • ► October (1)
    • ► July (2)
    • ► May (2)
    • ► April (1)
    • ► March (3)
    • ► February (1)
  • ► 2009 (4)
    • ► December (1)
    • ► July (2)
    • ► May (1)

I Called it LIFE

I Called it LIFE

friends

  • Alyssa Soebandono
    9 years ago
  • hot chocolate and mint
    4 weeks ago
  • Oracular Spectacular
    11 years ago
  • RUNI
    8 years ago
  • SCRAPTERRA
    7 years ago
  • Sosial & Budaya
    11 years ago

Followers

RUNI
  • Home
Created by ThemeXpose. All Rights Reserved.