Saat ini di Indonesa lagi gencar banget untuk memperketat Sensor Film maupun acara TV. Sering kan nonton acara yang rasanya semuanya di sensor? Kalau saya tidak salah (mohon koreksi kalau salah) acara Pemilihan Putri Indonesia atau Miss Indonesia juga sampai di sensor? Harus sampai sebegitunya kah?Really?
Katanya sih tujuan awalnya adalah untuk meminimalisir dampak negatif dari tampilan 'vulgar' atau kurang cocok untuk anak dibawah umur (read : under 17 or under 21). Rencana kebijakan ini pun akhirnya booming dan menjadi pembahasan banyak orang. Dari mereka yang pasti terkena dampak langsungnya yaitu artis, pekerja TV dan film, sampai orang-orang awam kayak saya.
Beberapa waktu lalu Joko Anwar pernah mengeluarkan pertanyaan di account twitter-nya, kurang lebih inti pertanyaannya adalah apakah orang-orang setuju dengan kebijakan dalam memperketat sensor film, beserta alasannya. Ada yang setuju, namun ada juga yang tidak setuju. Ya namanya juga kontroversi, yak.. Kalau saya pribadi kurang setuju sih sebenarnya, karena seperti apa yang saya tulis di atas tadi, seperti apa yang seorang Pandji Pragiwaksono pernah ungkapkan juga di salah satu bukunya, bahwa pendidikan yang baik itu tidak harus melulu dipenuhi dengan aturan-aturan, tapi pendidikan yang baik itu adalah proses pembelajaran yang dapat membantu pembentukan kedewasaan pada seseorang. Mungkin tujuan awal dibuatnya kebijakan itu sudah baik, tapi apakah cara 'memberikan banyak aturan' tersebut sudah cukup efektif?
Apakah usaha pemerintah berhasil dengan selalu menutup atau memblokir akses Website yang mengandung pornografi dan pornoaksi? Jawabannya, berhasil untuk sementara waktu, sebelum muncul ribuan Website lainnya yang content-nya sama seperti Website yang sudah pernah di blokir. Apakah kebijakan tersebut sudah tepat sasaran? Dan menjamin akan memperbaiki 'moral' bangsa seperti tujuan asalnya?
Kalau menurut salah satu teori Psikologi, yaitu Psikoanalisa, struktur kepribadian seseorang itu terdiri dari 3 hal, yaitu Id (dorongan-dorongan atau keinginan individu), Ego (salah satu yang mengontrol dorongan-dorongan yang dimiliki), dan Superego (aturan-aturan atau nilai-nilai yang ada di dalam diri individu itu sendiri). Nah, kalau menurut teori ini apabila seseorang memiliki keinginan yang cukup besar di dalam dirinya ia akan cenderung melakukan apapun untuk membuat keinginannya itu terpenuhi. Fungsi aturan disini hanya sebagai filter awal, atau yang menjadi pertimbangan apakah keinginannya itu akan ia keluarkan atau tidak. Tapi keputusan akhirnya itu ada di tangan Ego, sanggup kah ia memfilter mana keinginan yang harus di keluarkan dan mana yang tidak.
Seperti apa yang sudah aku katakan tadi, bahwa Superego itu dibentuk oleh aturan-aturan atau norma yang berlaku di suatu lingkungan, nilai Agama pun masuk di dalamnya. Sedangkan salah satu pertanda apakah Ego dapat memilah keinginan atau dorongan adalah dilihat dari kedewasaan seseorang, individu yang sudah lebih matang secara teori lebih bisa mengontrol keinginannya, lebih bisa 'menjebatani' antara Id dan Superego yang ia miliki.
So, apakah kebijakan yang mungkin akan dibuat oleh pemerintah itu sudah pasti efektif? Belum tentu. Meskipun terdapat banyak larangan dan kebijakan yang bertujuan 'membatasi' keinginan seseorang, tetap semuanya kembali ke pribadi individu itu sendiri. Apakah mereka akan membatasi perilakunya atau tidak? Apakah mereka benar-benar mampu mengikuti kebijakan itu dengan lapang dada dan tidak kembali memutar otak supaya tetap dapat memenuhi keinginannya?
Kalau menurut saya pribadi, lebih baik 'perketat' kebijakan yang sudah ada, misalnya untuk masalah film, bisa lebih di tekankan dikategori film itu sendiri, apakah SU (Semua umur), PG (Parental Guidance), atau R (Resticted). Buat semua pihak mengikuti dan memahami dengan jelas dari setiap kategorinya, dari mulai film maker, pegawai bioskop, sampai para orang tua. Ajarkan anak-anak mereka mengenai apa yang mereka boleh tonton dan tidak beserta alasannya. Ajarkan apa yang mereka boleh lakukan dan tidak beserta alsannya. Memang pasti lebih susah karena memerlukan kerjasama dari semua pihak. Tapi bukannya itu sepadan apabila hasilnya akan jauh lebih efektif?
Katanya sih tujuan awalnya adalah untuk meminimalisir dampak negatif dari tampilan 'vulgar' atau kurang cocok untuk anak dibawah umur (read : under 17 or under 21). Rencana kebijakan ini pun akhirnya booming dan menjadi pembahasan banyak orang. Dari mereka yang pasti terkena dampak langsungnya yaitu artis, pekerja TV dan film, sampai orang-orang awam kayak saya.
Beberapa waktu lalu Joko Anwar pernah mengeluarkan pertanyaan di account twitter-nya, kurang lebih inti pertanyaannya adalah apakah orang-orang setuju dengan kebijakan dalam memperketat sensor film, beserta alasannya. Ada yang setuju, namun ada juga yang tidak setuju. Ya namanya juga kontroversi, yak.. Kalau saya pribadi kurang setuju sih sebenarnya, karena seperti apa yang saya tulis di atas tadi, seperti apa yang seorang Pandji Pragiwaksono pernah ungkapkan juga di salah satu bukunya, bahwa pendidikan yang baik itu tidak harus melulu dipenuhi dengan aturan-aturan, tapi pendidikan yang baik itu adalah proses pembelajaran yang dapat membantu pembentukan kedewasaan pada seseorang. Mungkin tujuan awal dibuatnya kebijakan itu sudah baik, tapi apakah cara 'memberikan banyak aturan' tersebut sudah cukup efektif?
Apakah usaha pemerintah berhasil dengan selalu menutup atau memblokir akses Website yang mengandung pornografi dan pornoaksi? Jawabannya, berhasil untuk sementara waktu, sebelum muncul ribuan Website lainnya yang content-nya sama seperti Website yang sudah pernah di blokir. Apakah kebijakan tersebut sudah tepat sasaran? Dan menjamin akan memperbaiki 'moral' bangsa seperti tujuan asalnya?
Kalau menurut salah satu teori Psikologi, yaitu Psikoanalisa, struktur kepribadian seseorang itu terdiri dari 3 hal, yaitu Id (dorongan-dorongan atau keinginan individu), Ego (salah satu yang mengontrol dorongan-dorongan yang dimiliki), dan Superego (aturan-aturan atau nilai-nilai yang ada di dalam diri individu itu sendiri). Nah, kalau menurut teori ini apabila seseorang memiliki keinginan yang cukup besar di dalam dirinya ia akan cenderung melakukan apapun untuk membuat keinginannya itu terpenuhi. Fungsi aturan disini hanya sebagai filter awal, atau yang menjadi pertimbangan apakah keinginannya itu akan ia keluarkan atau tidak. Tapi keputusan akhirnya itu ada di tangan Ego, sanggup kah ia memfilter mana keinginan yang harus di keluarkan dan mana yang tidak.
Seperti apa yang sudah aku katakan tadi, bahwa Superego itu dibentuk oleh aturan-aturan atau norma yang berlaku di suatu lingkungan, nilai Agama pun masuk di dalamnya. Sedangkan salah satu pertanda apakah Ego dapat memilah keinginan atau dorongan adalah dilihat dari kedewasaan seseorang, individu yang sudah lebih matang secara teori lebih bisa mengontrol keinginannya, lebih bisa 'menjebatani' antara Id dan Superego yang ia miliki.
So, apakah kebijakan yang mungkin akan dibuat oleh pemerintah itu sudah pasti efektif? Belum tentu. Meskipun terdapat banyak larangan dan kebijakan yang bertujuan 'membatasi' keinginan seseorang, tetap semuanya kembali ke pribadi individu itu sendiri. Apakah mereka akan membatasi perilakunya atau tidak? Apakah mereka benar-benar mampu mengikuti kebijakan itu dengan lapang dada dan tidak kembali memutar otak supaya tetap dapat memenuhi keinginannya?
Kalau menurut saya pribadi, lebih baik 'perketat' kebijakan yang sudah ada, misalnya untuk masalah film, bisa lebih di tekankan dikategori film itu sendiri, apakah SU (Semua umur), PG (Parental Guidance), atau R (Resticted). Buat semua pihak mengikuti dan memahami dengan jelas dari setiap kategorinya, dari mulai film maker, pegawai bioskop, sampai para orang tua. Ajarkan anak-anak mereka mengenai apa yang mereka boleh tonton dan tidak beserta alasannya. Ajarkan apa yang mereka boleh lakukan dan tidak beserta alsannya. Memang pasti lebih susah karena memerlukan kerjasama dari semua pihak. Tapi bukannya itu sepadan apabila hasilnya akan jauh lebih efektif?