Hai Readers, apa kabar?
Oh iya, sekarang aku ada niat untuk membuat novel ciklit-fiksi-romance gitu, sejauh ini sih masih proses penulisan bahkan sampai sekarang belum bisa nentuin judulnya dan mulai bingung antara lanjut apa nggak, hahahha :'D
Maka dari itu aku bakal posting -yang rencananya jadi chapter 1 di novel tersebut- dan minta pendapat readers semua apakah chapter 1 tersebut sudah cukup menarik dan pantas untuk di lanjutkan apa bagaimana? plus minta kritiknya jugaa yaa, hehe (banyak maunya nih). Oke deh, here it is :
Chapter 1
Phobia, Histerionic, Passive-Aggresive, Schizophrenia, Paranoid, dan
bermacam-macam Masalah Kejiwaan ini sudah 5 jam non-stop keluar masuk kepalaku. Iphone ku sudah berkali-kali bergetar tanda ada telfon masuk yang
dengan berat hati harus aku reject atau
tidak aku angkat sama sekali. Lagi-lagi aku harus absen untuk kumpul bersama
teman-temanku. Andaikan besok bukan hari perdana ku Stase 1 di Rumah Sakit
khusus kejiwaan, pasti saat ini juga aku sudah meluncur ke Rumah Kopi buat
ketemu sama Rana, Anya, dan Adira.
“Neng, ini ada telfon!” Teriak Mbak-ku dari lantai bawah.
Siapa sih yang nelfon ke rumah
gini.
“iya, Mbak, tunggu sebentar.”
Kataku akhirnya sambil berlari menuju tempat telfon.
“Chels, lo nggak jadi kesini?”
tanyanya dari sebrang sana.
“ya ampun, sorry banget, Nyaaaa. Besok
gue harus Stase niiih, kayaknya nggak jadi bisa gabung. Ini aja materi belum
beres di baca semua. Next time deh
yaaaa.” Balasku dengan suara memelas.
“ah lo mah nggak rame, kan udah janjian tiap weekend kedua kita wajib ketemuu.” Kali ini suara Kirana yang
terdengar, mereka pasti pakai loudspeaker
deh.
“ya udah, bulan depan harus ikut
yaaaa Chels. Sukses Stasenyaa.” Adira pun ikut berkomentar.
“iya, bulan depan gue ikut deh.
Makasih yaaaa, have fun kalian. Sedih
banget nggak bisa ikutan.” Kataku seraya menutup percakapan via telfon itu.
Diantara kita berempat memang
hanya aku yang meneruskan kuliah ke jenjang Magister, ketiga temanku yang lain
sudah kerja dan sudah juga memiliki pasangan hidup, maksudnya sudah tahu akan
menikah dengan siapa, bahkan Adira rencananya beberapa bulan lagi akan melamar
pacarnya. Sedangkan aku? Mikirin kuliah aja sudah hampir membuat kepalaku
pecah, jadi ya mengenai pasangan bisa lah diundur dulu.
Sekembalinya ke kamar setelah
sempat mampir ke dapur untuk mengambil haggen dasz macademia nut-ku. Aku mengecek Iphone-ku dan ternyata ada 5 missedcall,
dari Fedi. Dengan ragu akhirnya aku memutuskan untuk menelfon balik. 5 kali Missedcall harusnya ada yang penting,
kan?
“Ada apa, Di?” tanyaku langsung
sesaat telfon sudah diangkat.
“eh, Chels. Nggak apa-apa sih, lagi
suntuk aja. Jalan yuk?” ini adalah pertanyaan yang-paling-tidak-aku-harapkan
saat ini.
“hmmm, oke jemput gue ya, Di.”
Jawabku akhirnya setelah berpikir sejenak.
“oke, i’m on my way.”
Sial. Sial. Sial. Kalau Kirana,
Anya bahkan Adira tahu aku jalan sama Fedi, mampuslah aku sudah.
******
“jadi gimana S2, Chels?” Tanya Fedi dari balik kemudinya.
“ya gitu aja Di, pusing. Kepalaku
udah mau pecah gitu rasanya.” Jawabku seadanya.
“tapi itu kan udah jadi kepengen
kamu, sampai keluar kerja segala.”
“iya sih, tapi aku nggak pernah
nyangka bakal sesusah ini. I just can’t
stand the pressure, Di. Bahkan saking gila-nya tugas, aku sampe pernah
nggak tidur dua hari. Gila nggak? Presiden bukan tapi hal yang diurus banyak
banget.” Kataku, curhat.
Fedi tertawa.
“haha, Chelsea...Chelsea, kamu
tuh kebiasaan deh, suka mempersulit sesuatu yang sebenernya kamu bisa lakuin.
Bawa santai aja, Chels, jangan sampai nggak tidur gitu, kasian badannya.”
Balasnya, tangannya refleks menggenggam tanganku.
Dengan cepat aku melepaskan
genggaman itu. Hawa canggung mulai terasa di antara aku dan Fedi.
Fedi Adrian Dinata, atau Fedi
adalah mantan pacar terlamaku, sekaligus satu-satunya (yang aku anggap) mantan
pacarku. Hubungan kami memang putus-nyambung dari jaman SMA. Puncaknya sekitar
dua tahun lalu, saat kami berdua menyadari bahwa the relationship didn’t workout. Saat itu kami tersadar bahwa rasa
sayang yang kita punya saja tidak cukup, terlalu banyak perbedaan diantara
kami, dan hal-hal sepele lainnya yang cuma jadi bumbu putus aja.
Setelah bingung mau kemana,
akhirnya aku dan Fedi memutuskan untuk makan disalah satu cafe di daerah
Tamblong, nama cafenya Marlo.
“jadi, ada apa nih ngajak gue
jalan?” tanyaku setelah urusan pesan-memesan selesai. Maafkan kami, tapi memang
semenjak putus bahasa kami memang tidak konsisten, kadang pake aku-kamu kadang
gue-lo.
Ada jeda yang agak lama sampai
akhirnya Fedi menjawab pertanyaanku tadi.
“ibu nanyain kamu terus tuh,
Chels.” Jawabannya kali ini membuatku tersedak air liurku sendiri.
“iya, Chels. Beliau kangen banget
sama kamu.” Fedi menjelaskan tanpa menunggu responku.
“gue juga kangen Ibu, tapi kan lo
tau sendiri kalau sekarang gue lagi sibuk-sibuknya sama kuliah. Lagian gue
nggak enak dateng ke rumah lagi, secara kita kan udah nggak ada apa-apa
sekarang, Di.” Jawabku mencoba untuk tidak terbawa suasana, thats why i still said ‘gue-lo.’
“iya, aku juga udah sering bilang
gitu ke Ibu, tapi beliau kekeuh pengen
ketemu kamu lagi katanya. Please!” Ampun deh nih Fedi kalau udah maksa-pake-acara-begging-segala.
“ya udah nanti kalau ada waktu
gue ke rumah, ya.” Kataku pada akhirnya, sesaat setelah pelayan memberikan
semua pesanan kami.
For your information, aku memang sudah sangat dekat dengan
keluarganya Fedi, terutama sama Ibu, hubunganku dengan Fedi yang hampir 7 tahun
cukup menjelaskan semuanya kan? Maksudku sangat wajar bukan kalau aku mengenal
keluarganya dengan baik? Fedi sendiri adalah anak tunggal, itu juga yang
membuat aku dekat sekali dengan ibunya, tidak jarang beliau minta diantar
mencari sesuatu yang memang penting, contoh kado untuk Fedi ketika berulang
tahun, ataupun hanya minta antar belanja bulanan.
“minggu lalu aku ketemu sama
Rana,” lagi-lagi Fedi membuyarkan lamunanku.
“oh ya? Terus?” jawabku setelah
selesai memakan potongan terakhir waffle dihadapanku.
“ya kita ngomongin kamu,”
“eh, aku sih yang nanyain kamu.”
Ralatnya.
Ini kenapa sih Fedi ngomongnya
pakai ‘aku-kamu’ segala, bikin gerah aja.
“oh” jawabku malas.
“kok oh doang sih, Chels?”
tanyanya heran
Aku menghela nafas,
“gini deh, Fedi. Sebenernya
tujuan lo ngajak gue jalan apa? Kenapa jadi pake ‘aku-kamu’ segala? Bawa-bawa
ibu, ditambah pernyataan lo yang bilang lo nanyain gue ke Rana?” tanyaku
akhirnya, benar kan salah banget jalan sama Fedi, tau gini mending baca buku
Kepribadian sampe mabuk aja deh.
“I miss you..”
Jawaban terakhir dari Fedi tidak
bisa aku jawab.
Ku keluarkan dua lembar uang
seratus ribu rupiah, menyimpannya di atas meja, dan meninggalkan Fedi sendirian
disana. Panggilan dari Fedi sama sekali
tidak aku hiraukan.
Maafkan Fedi aku nggak bisa. Aku
nggak bisa memperjuangkan hal yang jelas-jelas sudah nggak bisa diperjuangin. Im outta here.
Aku berjalan secepat mungkin dan
langsung memanggil Taksi yang kebetulan lewat di depanku.
******
Sesampainya di rumah aku disambut
oleh kakak perempuanku satu-satunya, yang mungkin sudah lama sekali nggak
bertemu denganku.
“dari mana, Chels?” tanya Teh
Sivia dari ruang TV, matanya masih terus aja merhatiin acara American Next top
Model.
“jalan sama Fedi, Teh.” Jawabku
singkat dari atas tangga.
“terus Fedinya mana? Tumben nggak
masuk dulu” tanyanya lagi.
“iya, tadi aku pulang naik
taksi.”
Mendengar jawabanku, Teh Sivia
tidak terdengar lagi suaranya. Mungkin sadar kalau aku sedang tidak mau
ditanya, atau menunggu ku turun ke ruang TV lagi.
“Jadi, kamu tuh gimana sama
Fedi?” tanya Teh Sivia, ketika aku duduk disebelahnya.
“ya nggak gimana-mana, Teh. Aku
sama Fedi emang udah nggak bisa bareng. Terlalu banyak perbedaan yang kita
paksain sama. Jadinya terkesan saling nuntut.”
“terus kenapa masih mau diajak
jalan sama dia? Bikin jarak lah, Chels. For
your own good.” Pandangannya kembali ke layar TV yang saat itu Tara Reid
sedang mengumumkan siapa saja yang lolos dan harus berhenti di American Next
Top Model.
Mendengar jawabannya pun aku
terdiam.
“De, gue pindah ke Bali nih.”
Katanya tiba-tiba.
“seriously????” aku kaget sekaligus senang dengarnya, seenggaknya
kalau butuh ketemu buat curhat nggak harus sebrang benua untuk ketemu kaan. Oh
iya, fyi, selama ini kakak semata
wayangku tinggal di Sydney untuk menyelesaikan sekolah Masternya di bidang Interior Design.
“yes, honey. Gue ada rencana buka studio sekaligus store disana. Awalnya mau di Bandung aja, tapi kan lo tau
sendiri pasar Bandung belum terlalu bagus. Mau di Jakarta udah terlalu banyak,
yaudah jadinya Bali deh yang di pilih.” Katanya menjelaskan.
“waaaa asik dong! Nanti kalau aku
ke Bali nggak usah nginep di hotel kaaan? Eh btw, udah dapet tempat tinggal
emang disana?”
“lagi di renov sih, gue udah nemu
rumah di Seminyak. You will love my home.”
Jawabnya sambil senyum-senyum menggoda ku yang memang punya impian punya rumah
dipinggir pantai.
“yes yes yes! So, kapan
Kak officialy pindah ke Balinya?”
tanyaku kelewat exicted, sampai lupa
kalau kakakku ini belum wisuda.
“mungkin 3 sampai 6 bulan, Chels.
Gue kan belum wisuda, dan masih ada beberapa project di Sydney yang gue
kerjain. Lumayan duitnya buat nambah-nambah modal usaha nanti, nggak enak kalau
minta Papa terus.”
“waaa congrats yaaa! I’m happy for
youuu sist.” Kataku sembari memeluknya.
Sivia Ramadhani Fauzi adalah
kakakku satu-satunya, usia kita terpaut 2 tahun. Sudah dua tahun Teh Sivia
tinggal di Sydney untuk menyelesaikan gelar Masternya. Aku sangat dekat dengan
Teh Sivia, maklum anak Papa Mama ya hanya kita berdua. Dulu waktu Teh Sivia
masih tinggal di Bandung, hampir tiap hari kita saling cerita, jalan bareng
–ntah berdua atau berempat dengan Fedi dan (mantan-mantan) pacar Teh Sivia—,
atau sekedar nonton DVD di rumah. Ya maklum, kedua orang tua kita sibuk dengan
kegiatannya sendiri, jadi kita selalu –berusaha— ada untuk satu sama lain.
********
“apaaaa? Lo tadi jalan sama
Fedi??? Masih sehat kan lo Chels?” suara Lana sangat terdengar lantang,
walaupun aku sudah menjauhkan Iphone dari
telinga, tapi tetap suaranya masih tedengar sangat jelas.
“iya Ran, gue tau gue salah. Bisa
biasa aja nggak ngomongnya?” protesku, sebal.
“ya abis lo mah ada-ada aja. Tadi kesambet apaan sih, Chels?”
“tau deh, kesambet PPDGJ¹ kali, nggak tau DSM².”
Jawabku asal.
“sampe mutusin buat milih jalan
sama Fedi daripada sama kita? You’d
better have a good reason deh, Chels.”
Oh jadi nampaknya si Rana masih
kesel gara-gara aku nggak dateng tadi, oke.
“gue udah minta maaf kan, Raan.
Ya mungkin gue kangen sama Fedi, hasil Repressan selama beberapa bulan ini keluar juga.”
“seeee?? Apa kan gue bilang, kalian tuh harus dipisahin sama lautan
dulu baru bisa bener-bener pisah atau at
least harus ada yang nikah duluan. Kalian tuh ya, udah tau bukan jodoh,
masiiih aja berusaha biar jodoh.”
Rana mulai ngoces panjang lebar seperti biasa.
“nih ya, Chels gue bilang lagi ke
lo yang semoga untuk terakhir kalinya. Jodoh tuh sama kayak umur, lo nggak akan
pernah bisa maksain jodoh. Kalau kata Allah Fedi bukan jodoh lo, ya lo nggak
bisa terus maksa dong. Artinya he’s not
your soulmate, thats it. Nggak ada alesan apa-apa lagi.” Jujur, itu adalah entah-ke-berapa-kali Rana
ngomong gitu pada ku, sebegitu keras kepalanya kah aku?
“Ran, jangan ngomong terus coba.
Kenalin gue sama temen lo kek, atau apa kek.”
“naaah kan basa-basi lagi, coba
udah berapa kali gue ngenalin lo dan semuanya berhasil lo tolak? Gue bingung,
lo sebenernya pengen yang kayak gimana sih Chels?”
Yap, sebenernya aku mau pasangan yang seperti apa sih? Sebenarnya aku
mau cari apa sih?
DONE!
buat temen-temen yang mau kasih saran, bisa comment langsung disini, mention di Twitter @runiyuniarti, kirim wall di Facebook Seruni Yuniarti, or just email me at runiunie@gmail.com :)
DITUNGGU BANGET YAAA READERS. THANK YOU SOOO MUCH.
Peluk cium untuk semuaaa :**
1 comments